Kejadian ini kualami kurang lebih sepuluh tahun yang lalu.
Di hari pertama masuk sekolah aku sudah membuat onar, kali ini ulahku membuat Rudy menangis. Penyebabnya sepele saja, aku hanya menempelkan permen karet di kursinya. Seluruh celana bagian belakangnya lengket dikenai permen karet.
“ Hahaha .. Biar tahu rasa dia, siapa suruh merebut tempat parkirku “ tawaku puas ketika melihat Rudy berlari keluar kelas sambil menangis.
Tiba-tiba saja, Ibu Lucyana menyeretku ke ruang guru, beliau serta-merta memarahiku tanpa bertanya siapa yang menempelkan permen karet di kursi Rudy. Mungkin beliau sudah menyangka pasti aku pelakunya.
“ Rasson, nakal sekali kamu, hari pertama masuk sekolah sudah buat ulah, ibu sudah bosan dengan kenakalanmu, sekali lagi kamu berulah, ibu skorsing kamu “ bentak Ibu Lucyana kepadaku.
Aku hanya diam mendengar ocehan Ibu Lucyana, anggap saja angin lalu, masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
Seperti biasa, setelah puas memarahiku, Ibu Lucyana menyuruhku untuk meminta maaf pada korbanku. Oke lah.. Akan kulakukan meskipun hanya sandiwara.
Setelah berakting di depan Ibu Lucyana, aku segera keluar dari kantor untuk kembali ke kelas. Kelasku terletak di pojok lapangan, benar-benar tak terjangkau dan jauh dari hiruk-pikuk SMP Carolus.
Ya ampun, aku jadi terlambat pelajaran kesenian, sudah bosan rasanya mendengar ocehan Pak Antonio dengan nada bicaranya yang fals. Begitu sampai di kelas, ternyata Pak Antonio tidak di tempat, leganya hatiku. Ketika aku hendak duduk di kursiku, tiba-tiba saja seorang makhluk asing telah menempatinya.
“ Heh .. Siapa kamu, beraninya menempati mejaku, pergi sana! “ bentakku kasar kepadanya.
“ Perkenalkan, namaku Angela Vanni, kau bisa memanggilku Vanni, tadi bapak kepala sekolah menyuruhku duduk di sini ” jawabnya sopan.
Siapapun dia yang jelas aku tidak suka bila kediamanku diusik. Aku menyeretnya dari kursiku dan kudorong dia ke lantai, kepalanya terbentur kaki meja. Waduh, masalah baru lagi ini. Dia menangis sangat keras. Tiba-tiba saja Pak Antonio datang, saat itu Vanni masih menangis, kondisi kelas makin tak terkendali saja.
“ Siapa yang membuat kegaduhan ini?” tanya Pak Antonio dengan nada falsnya.
Semua anak di kelasku hanya diam, kelas berubah menjadi sunyi senyap. Melihat itu, beliau menjadi naik darah. Tak seorang pun dari teman-temanku yang berani memberi keterangan. Akhirnya aku maju ke depan, aku mengakui semua perbuatanku.
“ Rasson, lagi-lagi kamu buat onar, sekarang bapak hukum kamu berdiri di depan selama pelajaran bapak” kata Pak Antonio padaku.
“ Yah Bapak ini... Bukankah bu guru pkn mengajarkan jika ada anak yang berani mengakui kelasalahannya, pantas dimaafkan” sanggahku pada ucapan Pak Antonio.
Semua anak di kelasku bersorak.
“ Huuuuuuuu “ sorak mereka serempak.
Akhirnya Pak Antonio menyerah, beliau tidak jadi menghukumku dan menyuruhku kembali ke tempat duduk.
Kali ini aku terpaksa duduk di samping anak baru ini, kulihat dia masih tersedu-sedu. Dia bergeser hingga ke ujung kursi. Tampaknya masih takut padaku.
“ Maafkan aku” kataku pada Vanni.
Dia hanya tersenyum menanggapi permintaan maafku. Tapi sinar matanya menunjukkan bahwa dia gadis yang pemaaf.
Entah apa yang terjadi saat itu, tiba-tiba saja aku merasakan suatu yang aneh saat melihat senyum yang terpancar dari wajah Vanni. Aku benar-benar terpukau, tanpa sadar aku sudah terlalu lama memandangnya tanpa berkedip.
“ Haloo .. Lihat apa kamu ? “ tanya Vanni keheranan padaku.
“ Tidak, aku tak melihat apa pun.” sahutku dengan ekspresi salah tingkah.
Sepanjang pelajaran kesenian aku benar-benar tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku terus saja membayangkan senyum manis Vanni. Sesekali aku meliriknya, ternyata semakin dilihat, semakin manis saja.
“ Rasson, sedang apa kamu, dari tadi bapak perhatikan, kamu hanya senyum-senyum, mana gambarmu! “ seru Pak Antonio kepadaku sembari mendobrak mejaku.
Secepat kilat aku menyambar kertas gambar dari dalam laciku. Aku segera menggambar. Dengan sengaja aku menggambar sosok beliau dengan amat buruk layaknya badut. Hidung besar, pipi tembam, mulut sebesar ember, serta mata yang sipit ditambah kumis tebal yang menawan, begitulah kurang lebihnya aku menggambar Pak Antonio.
Bel tanda istirahat berbunyi, aku segera keluar kelas dan meninggalkan kertas gambarku di atas meja. Kulihat Pak Antonio sedang memeriksa gambar masing-masing anak. Aku keluar kelas sambil terkekeh, tak dapat kubayangkan bagaimana ekspresi wajah Pak Antonio saat melihat gambarku.
Aku segera berjalan menuju lapangan basket, kuambil handphoneku dari dalam saku celana.
“ Denny, Kevin, Ivan, Rafa, Aldo, Tian, cepatlah ke lapangan, ada hal penting yang perlu aku bicaraka” begitulah bunyi pesan yang kutuliskan untuk anak buahku. Kami tergabung dalam Sevenfold Gank.
Belum ada dua menit, mereka semua sudah menghampiriku di lapangan.
“ Bro, menurut kalian, bagaimana cara yang tepat untuk memberi pelajaran pada Pak Antonio? Kepalanya yang botak benar-benar membuatku kesal” tanyaku pada kawan-kawanku.
“ Gembeskan saja ban motornya, beres kan ? “ sahut Rafa.
“ Hemm,, kita kerjai saja anaknya “ sahut Aldo.
“ Tidak-tidak, jangan anaknya, kasihan dia tidak tahu apa-apa langsung kena batunya.” sanggahku terhadap usul Aldo.
“ Hai.. Sejak kapan Rasson mengenal kata kasihan. Sepertinya ketua kita sedang sakit. “ celetuk Ivan.
Aku hanya melirik sinis menanggapi ucapan Ivan, dia tertunduk takut.
Akhirnya kuputuskan untuk menerima usul Rafa. Sepulang sekolah, aku bersama Sevenfold langsung menuju ke parkiran guru, segera kucari motor jupiter mx milik Pak Antonio.
“ Cessss ... “ bunyi ban motor kempes.
Setelah berhasil menggemboskan ban motor Pak Antonio, aku dan teman-teman Sevenfold segera berlari. Puas rasanya bisa membalas dendamku padanya, dengan begini kedudukan menajadi satu sama.
Jam menunjukan pukul empat sore, aku segera tancap gas satria merahku. Tak lama kemudian, aku sudah dapat terbaring di kasurku. Kulihat kalender yang tergantung di dinding kamarku. Aku terbelalak.
“ Hah .. Tiga hari lagi tanggal 18 ? Bagaimana ini ? Aku belum menyiapkan apapun untuk hadiah ulang tahun nenek. “ gumamku dalam hati.
Sore itu, aku langsung berkeliling ke pinggiran kota Surabaya. Sesuai petunjuk Pak Budi, penjaga malam rumahku, aku akhirnya berhasil menemukan tempat penjualan gerabah. Gerabah tersebut akan kuhadiahkan untuk nenekku. Nenekku adalah penggemar gerabah, beliau adalah kolektor gerabah terkenal di Indonesia.
“ Endah Gerabah “ , itulah nama tempat penjualan gerabah yang aku kunjungi, tempatnya sederhana, tetapi nampaknya gerbah-gerabah di sana indah-indah.
“ Permisi .. Boleh aku masuk ?“ tanyaku pada gadis yang sedang jongkok membelakangiku.
“ Mari .. Silahkan ... Lihatlah gerabah kami “ jawab gadis itu dengan ramah sembari membalikan badan ke arahku.
Betapa tersentaknya aku ketika mengetahui gadis itu adalah Vanni, gadis yang mebuatku terpesona.
“ Ehh .. Rasson .. Mari masuk, ada apa gerangan kamu bisa kemari ? “
“ Aku mau cari gucci yang unik buat hadiah ultah nenekku “
“ Ehm ... Sepertinya aku tau nenekmu,, beliau bernama Maria Santi bukan ? Beliau adalah penggemar gucci yang berpahatkan tulisan Mandarin ”.
“ Bagaimana kau mengetahuinya ?”
“ Memangnya nenekmu gag cerita apapun tentang sku? Nenekmu adalah wanita yang berhati sangat mulia, beliau membiayai sekolahku, maka dari itu, gadis semiskin aku bisa pindah ke SMP Carolus.”
“ Tapi .. Bagaimana kau mengenal nenekku ? “ tanyaku masih tak percaya.
“ Singkat cerita, satu tahun yang lalu, di suatu siang aku sedang mengedarkan gerabah di lampu merah, tiba-tiba saja aku hampir pingsan, perutku benar-benar lapar, sudah dua hari aku tidak makan, kebetulan saat itu nenekmu sedang berada di sana, beliau lalu mengajakku makan dan mengantarkanku pulang, dan sejak saat itu, beliau menjadi pelanggan tetap gerabahku dan kuanggap sebagai nenek sendiri. “
“ Memang orang tuamu ke mana ? Kok kamu bisa sampai terlantar ? Sekarang to the point aja, aku ke sini mau cari gucci yang pas buat hadiah ultah nenek, kamu ada tidak ? “
“ Orang tuaku telah meninggal karena kecelakaan ketika aku berumur 8 tahun. Tentang gucimu, ada sihh,, tapi menurutku, akan lebih baik kalau kamu yang membuat gucci itu sendiri, nanti aku bantu deh. Gimana ? Mau nggak ? Nenekmu pasti senang menerimanya “
Mendengar kisah hidup Vanni yang demikian pahit, aku menjadi sadar, aku lebih beruntung dari dia. Setidaknya aku masih punya orang tua. Tapi .. Kalau punya orang tua yang tidak peduli pada anak, bukankah itu juga sama buruknya ? Tapi yang jelas, aku beruntung memiliki nenek Maria yang selalu menyayangiku lebih dari apapun.
Keesokan harinya ...
Aku kembali ke rumah Vanni. Sesuai janjinya, dia akan mengajariku membuat gucci. Ternyata hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja gucci itu sudah berbentuk, selanjutnya tinggal menunggu proses pembakaran. Aku tak sabar melihatnya. Kata Vanni, lusa gucci itu sudah selesai ia cat, dan aku dapat mengambilnya, benar-benar pas di pada ulang tahun nenek.
Tanggal 18 Agustus pun tiba, kuberikan hadiah itu pada nenek. Nenek benar-benar bahagia, demikian juga aku. Semua ini berkat Vanni.
Keesokan harinya aku kembali ke sekolah, aku sengaja bangun pagi-pagi untuk menjemput Vanni, hitung-hintung ucapan terimakasih dan trik pdkt. Hehehe.
Sepulang sekolah, aku bermaksud mengajak Vanni ke rumah agar bisa bertemu dengan nenek. Vanni bilang bahwa dia sangat rindu dengan nenek. Sesampainya di rumah aku benar-benar kaget, kulihat nenek tergeletak di taman, beliau sudah tak bernafas lagi, serangan jantung membuatnya pergi dan tak kembali.
Semejak kepergian nenek, aku menderita guncangan mental. Pada akhirnya aku menjadi gila hingga tak bisa bersekolah lagi. Semua teman-temanku meninggalkan aku, mereka tak peduli lagi denganku, demikian juga orang tuaku, mereka malah berencana mengirimku ke RSJ. Bukankah itu di kelewatan? Beruntung Vanni dan kakak perempuanku mencegah orang tuaku untuk memasukkanku ke RSJ, kalau tidak ada mereka, mungkin aku sudah terbunuh di sana. Vanni berjanji akan menjaga dan merawatku hingga aku sembuh. Hanya dia yang selalu memotivasiku. Setiap hari dia datang ke rumah, mengajakku bicara, menghiburku, mendoakanku, dan mengajakku ke gereja. Hingga akhirnya aku dapat sembuh dari gila. Di akhir cerita, aku bisa bersekolah lagi. Meskipun harus mengulang, tapi itu tak masalah.. Dia memberiku banyak pelajaran hidup.
Terimakasih Vanni.. Berkat kamu juga, sekarang orang tuaku menjadi sadar, bahwa peran mereka tak hanya mencari nafkah, tetapi juga mencurahkan kasih sayang pada anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar